Keriuhan Kosong yang Kita Pelihara Tanpa Sadar

Hardiansyah Padli

Beberapa hari terakhir, sebuah berita tentang seorang tuanku yang batal menikah di Sumbar tiba-tiba memenuhi beranda Facebook saya. Terus terang, saya tidak mengenal beliau secara dekat. Kami hanya pernah bertemu sekali dalam sebuah majelis, ketika beliau datang bersama guru kami, Tuanku Rahmat Tk Sulaiman. Selain itu, hubungan kami hanya sebatas pertemanan di Facebook.

Awalnya saya hanya ingin mengetahui duduk perkaranya. Namun ketika membuka kolom komentar, justru rasa sesak muncul. Nada sinis, tuduhan yang terburu-buru, dan candaan yang tidak pantas berseliweran begitu mudah, seolah-olah kehidupan orang lain adalah panggung hiburan.

Di momen itu saya terhenti. Saya sadar bahwa yang patut direnungkan bukan semata isi beritanya, melainkan cara kita sebagai masyarakat digital merespons sesuatu.

Sering kali, peristiwa kecil membuka tabir kebiasaan besar.

Kini, jari jemari bergerak jauh lebih cepat daripada hati dan akal. Kita begitu mudah mengomentari urusan orang lain dengan informasi yang setengah matang, lalu menjadikannya bahan konten atau candaan. Tanpa disadari, kita sedang membangun keriuhan kosong: ramai, bising, namun tak menyisakan hikmah.

Padahal jauh sebelum media sosial hadir, kearifan lokal sudah mengingatkan kita untuk berhati-hati. Tidak semua yang tampak layak dibicarakan. Tidak semua yang terdengar pantas disebarkan. Dan kata-kata, meski ringan, dapat melukai lebih dalam dari yang kita bayangkan.

Media sosial tentu membawa banyak manfaat—ia dapat menjadi ruang memperjuangkan kebenaran, tempat suara yang terpinggirkan menemukan telinga. Namun ketika digunakan tanpa nurani, ia berubah menjadi bara: membakar nama baik, merusak martabat, dan menjerumuskan kita pada penghakiman terburu-buru.

Sebenarnya, kita memiliki panduan moral; hanya saja sering kita lupakan. Sejak dulu, pepatah sudah mengingatkan:

“Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah.”

Di era komentar yang lebih cepat daripada pertimbangan, barangkali perlu kita tambah satu lagi:

Bakomen paliharolah jari.

Sebelum membuat konten atau menekan tombol share, barangkali lebih bijak jika kita mengetuk hati terlebih dahulu. Sebab satu jempol dapat menyebarkan kebaikan, tetapi jempol yang sama juga bisa merusak kehidupan seseorang.

Netizen boleh tidak sependapat dengan saya. Refleksi kecil ini pun mungkin tak mengubah dunia. Namun jika bisa menjadi pengingat agar kita tidak menambah keriuhan kosong—apalagi yang berpotensi melukai mereka yang bahkan tak kita kenal dekat—mungkin itu sudah cukup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *