Review Artikel: “Cultural Studies and Everyday Life: A Balinese Case” oleh Mark Hobart

Sumber: Jurnal Kajian Bali

Artikel Cultural Studies and Everyday Life: A Balinese Case karya Mark Hobart memberikan analisis kritis terhadap bagaimana kebudayaan di Bali dipahami, dikonstruksi, dan dikendalikan oleh kekuatan hegemonik, khususnya dalam konteks pariwisata dan politik budaya. Hobart, yang berasal dari tradisi Cultural Studies, menyoroti bagaimana konsep kebudayaan dalam konteks Indonesia, terutama di Bali, telah disederhanakan menjadi produk yang dapat dipasarkan, alih-alih sebuah ekspresi kehidupan sehari-hari yang dinamis.

Salah satu argumen utama dalam artikel ini adalah bahwa kebudayaan di Bali telah mengalami komodifikasi yang ekstrem. Pemerintah Orde Baru menggunakan konsep kebudayaan untuk menciptakan citra harmonis dan stabil, yang pada akhirnya mempermudah Bali untuk dijual sebagai destinasi wisata eksotis. Dalam perspektif Hobart, kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai praktik sosial yang berkembang secara organik, tetapi sebagai simulacrum (menurut istilah Baudrillard), yakni sesuatu yang dipresentasikan sebagai tradisi otentik padahal telah mengalami modifikasi untuk memenuhi ekspektasi wisatawan dan kepentingan kapitalisme global.

Artikel ini juga menyoroti bagaimana konsep kebudayaan dalam bahasa Indonesia berbeda dari culture dalam konteks Cultural Studies dan antropologi Barat. Kebudayaan dalam wacana negara sering kali digunakan untuk membentuk subjek yang patuh, menjadikan masyarakat sebagai objek dari definisi kebudayaan yang ditetapkan oleh elite politik dan ekonomi. Seperti yang dikatakan Hobart, konsep ini sering kali mengabaikan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, yang justru lebih kompleks dan penuh dengan negosiasi sosial dibandingkan dengan representasi yang ditampilkan dalam pariwisata dan media.

Pendekatan Metodologis dan Kekuatan Teoretis

Hobart menggunakan pendekatan dekonstruktif untuk membongkar cara negara dan kapitalisme global mengontrol narasi kebudayaan. Ia mengacu pada pemikir seperti Raymond Williams, Stuart Hall, dan Michel Foucault untuk menjelaskan bagaimana kebudayaan selalu menjadi arena perjuangan kekuasaan dan bukan sekadar warisan yang harus dipertahankan tanpa kritik.

Artikel ini juga menunjukkan bagaimana kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari sering kali bertentangan dengan narasi resmi. Dalam banyak kasus, masyarakat Bali tetap menjalankan praktik budaya mereka dengan cara yang lebih cair dan dinamis dibandingkan dengan versi kebudayaan yang dikemas untuk wisatawan. Namun, suara mereka sering kali terpinggirkan dalam wacana resmi, yang lebih mengutamakan stabilitas dan kepentingan ekonomi dibandingkan ekspresi budaya yang otentik.

Implikasi dan Relevansi dalam Kajian Budaya

Artikel ini memiliki relevansi yang kuat, tidak hanya bagi studi kebudayaan di Indonesia tetapi juga dalam diskusi yang lebih luas tentang globalisasi dan komodifikasi budaya. Hobart mengajak pembaca untuk mempertanyakan bagaimana kebudayaan didefinisikan dan siapa yang memiliki kuasa untuk mendefinisikannya.

Artikel ini sangat penting untuk dibaca oleh akademisi, mahasiswa, dan praktisi budaya yang ingin memahami bagaimana Cultural Studies dapat diterapkan dalam analisis budaya lokal. Dengan gaya penulisan yang tajam dan berbasis teori kuat, Hobart berhasil mengungkap kontradiksi dalam pemahaman kebudayaan di Bali dan menunjukkan bagaimana studi budaya dapat menjadi alat kritis untuk membongkar hegemoni dalam representasi budaya.

Secara keseluruhan, Cultural Studies and Everyday Life: A Balinese Case adalah artikel yang menggugah pemikiran dan menawarkan kritik yang tajam terhadap wacana kebudayaan di Bali. Hobart tidak hanya membongkar mitos harmoni yang sering dikaitkan dengan Bali, tetapi juga menunjukkan bagaimana konsep kebudayaan dapat digunakan sebagai alat politik dan ekonomi. Artikel ini merupakan bacaan wajib bagi siapa saja yang tertarik pada studi budaya, politik identitas, dan dinamika globalisasi dalam konteks lokal.

Saya melihat artikel Cultural Studies and Everyday Life: A Balinese Case oleh Mark Hobart sebagai karya yang memberikan perspektif tajam dan provokatif terhadap bagaimana kebudayaan di Bali dikonstruksi dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Melalui pembacaan kritis terhadap artikel ini, saya menyadari bahwa apa yang selama ini kita anggap sebagai “kebudayaan otentik” sering kali merupakan hasil dari manipulasi ideologis, terutama dalam konteks pariwisata dan politik budaya.

Dalam menulis review ini, saya tertarik dengan pendekatan Cultural Studies yang digunakan Hobart, terutama dalam membongkar bagaimana kebudayaan dapat berfungsi sebagai alat hegemoni. Saya merasa bahwa analisisnya relevan tidak hanya untuk Bali, tetapi juga untuk berbagai komunitas lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa, di mana budaya lokal sering kali dikomodifikasi untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Salah satu bagian dari artikel yang paling menggugah bagi saya adalah kritik Hobart terhadap bagaimana kebudayaan di Bali dipasarkan sebagai “warisan harmonis” yang tidak boleh berubah. Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa kebudayaan sejatinya bersifat dinamis dan terus bertransformasi sesuai dengan perubahan sosial. Sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap kajian budaya dan wacana identitas, saya melihat bahwa artikel ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang siapa yang berhak mendefinisikan kebudayaan dan bagaimana kita bisa memahami budaya sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar simbol pariwisata.

Dalam proses penulisan review ini, saya mencoba untuk tidak hanya merangkum isi artikel, tetapi juga mengkritisi dan memperluas diskusi berdasarkan pemahaman saya terhadap Cultural Studies. Saya ingin menghadirkan sudut pandang yang menyoroti relevansi artikel ini dalam konteks yang lebih luas, serta bagaimana kajian seperti ini dapat membantu kita memahami bagaimana budaya dan identitas dikonstruksi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai kesimpulan, saya melihat artikel ini sebagai kontribusi yang penting dalam kajian budaya, terutama dalam membongkar mitos kebudayaan yang sering kali diterima begitu saja oleh masyarakat. Melalui review ini, saya berharap dapat mendorong lebih banyak pembaca untuk mempertanyakan narasi budaya yang mereka temui sehari-hari dan menggali lebih dalam tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam membentuk pemahaman kita tentang kebudayaan. (SF)

Narasi ini disarikan dari artikel: https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/89410

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *