Resensi Buku: Fetishism and Curiosity

Judul: Fetishism and Curiosity
Penulis: Laura Mulvey
Penerbit: British Film Institute & Indiana University Press
Tahun Terbit: 1996Jumlah Halaman: ± 200 halaman

Buku Fetishism and Curiosity menawarkan kajian mendalam terhadap teori film, feminisme, dan politik representasi dalam budaya visual. Dengan pendekatan multidisipliner, buku ini mengeksplorasi bagaimana sinema Hollywood membentuk subjektivitas gender dan peran penonton dalam memahami representasi perempuan di layar. Melalui kumpulan esai akademik, Mulvey membahas konsep fetisisme dan rasa ingin tahu sebagai elemen utama dalam produksi makna dalam sinema.

Secara garis besar, buku ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama, What Price Hollywood?, mengeksplorasi pengaruh sinema Hollywood dalam budaya visual serta bagaimana para intelektual Eropa mengkritisi sinema arus utama. Dalam bab “Americanitis: European Intellectuals and Hollywood Melodrama”, Mulvey menyoroti bagaimana Hollywood menjadi objek kajian intelektual yang meneliti cara sinema mengartikulasikan emosi dan ideologi. Bagian kedua, Dialectics of Division, membahas hubungan antara fetisisme dan rasa ingin tahu dalam seni visual dan sinema. Dalam “Cosmetics and Abjection: Cindy Sherman 1977-87”, Mulvey mengupas bagaimana karya seniman Cindy Sherman membongkar konstruksi sosial mengenai identitas perempuan melalui fotografi dan representasi tubuh. Bagian ketiga, Dollar-Book Freud, menelaah hubungan antara psikoanalisis dan sejarah dalam film seperti Citizen Kane dan Blue Velvet. Bab “From Log Cabin to Xanadu” membahas bagaimana Citizen Kane menggunakan simbolisme psikoanalitik untuk menggambarkan hubungan antara kekuasaan, ingatan, dan sejarah.

Salah satu keunggulan utama buku ini adalah pendekatan teoretisnya yang kuat. Mulvey menggabungkan kajian film dengan teori psikoanalitik, Marxisme, dan feminisme, sehingga memberikan perspektif yang kompleks dan mendalam. Selain itu, konsep-konsep dalam buku ini tetap relevan dalam kajian media digital dan budaya visual saat ini. Gaya penulisannya yang reflektif juga membuat argumen dalam buku ini lebih dekat dengan pengalaman penonton. Namun, buku ini memiliki tantangan tersendiri dalam pembacaannya. Beberapa bagian menggunakan bahasa akademik yang cukup padat, menuntut pemahaman mendalam terhadap teori film dan psikoanalisis. Selain itu, fokus utama pada sinema Barat membuat buku ini kurang menyoroti perkembangan sinema dari wilayah lain.

Sebagai penulis resensi ini, saya melihat Fetishism and Curiosity sebagai karya yang menggugah pemikiran dan relevan dalam diskusi mengenai sinema, teori gender, dan psikoanalisis. Saya menemukan bahwa buku ini tidak hanya menawarkan analisis tajam terhadap budaya visual tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan bagaimana representasi bekerja dalam membentuk cara kita melihat dunia. Dalam membaca buku ini, saya merasakan tantangan intelektual yang menarik, terutama dalam mendekonstruksi konsep fetisisme dalam sinema. Meskipun beberapa bagian terasa berat secara akademik, saya yakin bahwa bagi pembaca yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap kajian film dan teori kritis, buku ini akan memberikan banyak wawasan berharga. Dengan segala kekuatan dan tantangannya, saya merekomendasikan buku ini kepada akademisi, peneliti, serta mereka yang ingin lebih memahami keterkaitan antara sinema, ideologi, dan representasi gender dalam budaya populer.
*SF Basari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *